Mentreng.com | Bandar Lampung – Hibah senilai Rp60 miliar dari APBD Kota Bandar Lampung untuk pembangunan Gedung Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung terus menuai kecaman. LSM PRO RAKYAT menilai tindakan ini sebagai bentuk pembebanan anggaran daerah yang tidak masuk akal dan berpotensi menciptakan konflik kepentingan serius antara Pemerintah Kota Bandar Lampung dan Kejaksaan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Umum LSM PRO RAKYAT, Aqrobin A.M., didampingi Sekretaris Umum Johan Alamsyah, S.E., pada Minggu (28/9/2025). Mentreng.com berhasil mengonfirmasi bahwa LSM tersebut akan segera mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto dan Jaksa Agung RI untuk meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban.
“Seharusnya, pembangunan Gedung Kejati Lampung sepenuhnya menjadi tanggung jawab APBN. Mengapa justru membebani APBD Kota Bandar Lampung yang keuangannya morat-marit, infrastruktur jalan rusak parah, dan jauh dari kata layak? Jaksa Agung wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat Lampung.
“Kami akan mempertanyakan kepada Presiden Prabowo, apakah APBN kita sudah sedemikian lemah hingga tidak mampu membiayai pembangunan gedung Kejati Lampung?” tegas Aqrobin, seperti yang dikonfirmasi oleh Mentreng.com.
LSM PRO RAKYAT berpendapat, hibah ini bermasalah karena melanggar prinsip-prinsip:
1. Negara Hukum: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan independensi penegakan hukum.
2. Kekuasaan Kehakiman Merdeka: Pasal 24 UUD 1945 menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka, termasuk Kejaksaan sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana.
3. Anggaran Kejaksaan dari APBN: UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (jo. UU No. 11 Tahun 2021) secara eksplisit menyatakan bahwa anggaran Kejaksaan bersumber dari APBN.
4. Potensi Konflik Kepentingan: Pasal 298 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur hibah, namun norma ini multitafsir dan tidak dapat ditafsirkan sebagai pembenaran hibah kepada lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan, karena akan menimbulkan konflik kepentingan.
5. Kewenangan KPK: UU No. 30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih perkara korupsi jika aparat penegak hukum tidak independen atau terdapat konflik kepentingan.
Sekretaris Umum LSM PRO RAKYAT, Johan Alamsyah, S.E., menambahkan, hibah ini mengancam integritas penegakan hukum tindak pidana korupsi di Kota Bandar Lampung. “Bagaimana mungkin Kejaksaan Negeri Kota Bandar Lampung dapat bertindak independen jika gedung kantor mereka dibangun dengan hibah APBD Kota? Ini sangat rawan praktik kongkalikong.
Jaksa Agung harus menjamin bahwa hibah Rp60 miliar ini tidak melanggar aturan hukum, pekerjaan pembangunan gedung harus sesuai spesifikasi kontrak, dan tidak terjadi pengurangan volume. Jika tidak, publik berhak menduga adanya praktik barter hukum,” tegasnya.
Mengingat gedung kantor Kejati Lampung telah diratakan dengan tanah, LSM PRO RAKYAT mendesak agar seluruh kasus tindak pidana korupsi yang seharusnya ditangani Kejaksaan Negeri Bandar Lampung segera dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sesuai dengan:
– Pasal 8 ayat (2) huruf b UU KPK (UU 19/2019): KPK berwenang mengambil alih perkara korupsi apabila aparat penegak hukum diduga tidak independen.
– Pasal 10A UU KPK: KPK berwenang mengambil alih jika penanganan perkara berlarut-larut atau ada konflik kepentingan.
“Kami menilai Kejaksaan tidak akan lagi objektif dalam menangani kasus korupsi di Kota Bandar Lampung. Dengan gedung Kejati dibiayai APBD Kota, independensi Kejaksaan sangat diragukan. Lebih baik semua perkara penegakan hukum tindak pidana korupsi di Kejari Kota Bandar Lampung diserahkan ke KPK RI agar ada jaminan penegakan hukum yang bersih, transparan, dan profesional.
“Dengan demikian, Kejari Kota Bandar Lampung dapat fokus pada tindak pidana khusus non-korupsi, seperti narkotika, pencucian uang, terorisme, dan pelanggaran HAM berat,” pungkas Johan.
Pemerintah Kota Bandar Lampung telah mengalokasikan hibah Rp60 miliar dalam APBD Tahun Anggaran 2025 untuk pembangunan Gedung Kejati Lampung, yang saat ini memasuki tahap persiapan pembangunan pondasi. Langkah ini dinilai kontradiktif dengan kebijakan efisiensi anggaran yang tengah digencarkan pemerintah pusat.
LSM PRO RAKYAT menilai langkah ini sebagai bentuk lemahnya komitmen Kejaksaan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dan mempertaruhkan marwah institusi Adhyaksa dalam menjaga independensi di daerah. “Masyarakat sudah muak dengan perilaku koruptif. Ini perintah Jaksa Agung atau inisiatif Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung?” tutup Aqrobin dengan nada geram. ( Soleh )