Jacob Ereste
Sikap dari rasa syukur orang Jawa sangat memungkinkan lebih dekat dengan laku spiritual yang memang dominan dilakoni orang Jawa.
Rasa syukur yang selalu diekspresikan orang Jawa nyaris terhadap semua hal yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan “lega lila” sebagai ekspresi dari rasa bersyukur terhadap semua yang menjadi pengasih Allah. Saat mengalami luka saja, masih bisa bersyukur, karena tidak sampai memutuskan bagian dari tubuh yang terluka itu. Demikian juga dalam usaha perdagangan misalnya mengalami kerugian, masih dapat diterima dengan rasa syukur, lantaran tidak lebih banyak mengalami kerugian dar barang dagangan itu yang amblas.
Bahkan hingga peristiwa kematian, bencana alam besar sampai peristiwa yang lebih memilukan dan mengerikan, juga masih mampu untuk disyukuri, karena masih menyisakan sebagian dari semua yang dimiliki dapat diselamatkan. Setidaknya, tak semua menjadi punah. Pendek kata, rasa untuk selalu bersyukur dari orang Jawa pada umumnya lebih dominan lapang dibanding dengan suku bangsa Nusantara yang lain, saat harus menerima realitas hidup yang pahit bahkan yang paling menyedihkan sekalipun.
Pendek kata, tingkat kesabaran dan rasa syukur orang Jawa itu seakan tidak memiliki batas. Sehingga acap penuh kesabaran dan rasa syukur menjadi nilai tambah lebih tersendiri saat harus menghadapi berbagai cobaan dan halangan sampai kepada hal-hal yang merugikan sekali pun selalu diterima dengan penuh kesabaran serta rasa syukur dengan ikhlas. Seakan menyadari benar bahwa takdir atau nasib itu harus diterima tanpa keluh kesah, meski telah berupaya sekeras mungkin untuk melakukan yang terbaik dari semua yang telah diupayakan. Karena itu tingkat religiusitas spiritual manusia Jawa relatif lebih dekat dengan Sang Maha Kuasa. Kendati dalam wujud yang diekspresikan bisa saja dengan cara yang berbeda. Karena itu, laku spiritual orang Jawa cukup dominan dibanding dengan suku bangsa Nusantara yang lain. Sehingga sangat mungkin gerakan kebangkitan dan kesadaran serta pemahaman spiritual akan bangkit dari tanah Jawa (Indonesia) untuk menjadi pelopor serta motor penggerak utama kebangkitan spiritual di dunia yang harus menjadi model utama untuk dapat mewarnai peradaban dunia.
Peradaban manusia Indonesia hari ini yang terkesan jadi terlanjur menjadi sangat kapitalistik, seakan telah menjadikan nilai-nilai materi sebagai Tuhan dalam menakar semua bentuk keberhasilan. Akibatnya, sikap dan sifat materialisme menjadi sangat dominan mewarnai segenap segi kehidupan dalam mengukur sukses seseorang. Akibatnya, orientasi sikap yang sangat materialistik membuat banyak orang dipaksa untuk berlomba menggamit jumlah perolehan yang sebanyak-banyaknya, tanpa hirau pada kualitas (etika, moral dan akhlak) dari cara memperoleh semua itu dengan cara melakukan dengan berbagai upaya seperti apapun. Sebab yang telah menjadi fokus terpenting adalah jumlah perolehan yang bisa diraih, tanpa perlu dan harus mempersoalkan cara atau proses dengan cara untuk mendapatkannya.
Tampaknya, begitulah tindak pidana korupsi menjadi semakin marak hingga terkesan sangat sulit untuk dihentikan perkembangannya di Indonesia. Sehingga, upaya untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi bagian dari pekerjaan yang tidak mampu dilakukan sampai hari ini, bahkan justru cenderung meningkat dan mewabah, seperti penyakit menular yang tidak mampu disebuhkan.
Kegaduhan masalah korupsi di Indonesia sampai hari ini terus menjadi topik utama yang hangat, nyaris tidak pernah absen menjadi sajian media massa di Indonesia. Modusnya pun terus semakin berkembang dalam beragam tampilan dan cara yang semakin canggih dan rumit untuk diikuti, sehingga istilah ijon dalam pembahasan UU atau beragam bentuk peraturan lainnya telah menjadi bagian dari model dari tindak pidana korupsi seperti yang dilakukan juga dalam bentuk gratifikasi atau dalam wujud kemudahan-kemudahan yang dapat dengan mudah untuk diperjual-belikan.
Orientasi dari sikap manusia yang semakin materialistik sekarang ini, lantaran kemewahan telah dijadikan penakar untuk memposisikan kehormatan atau pun derajat martabat dari seseorang di mata orang lain. Karena itu, segala sesuatunya semakin dipercaya dapat diatasi atau diselesaikan dengan nilai mata uang yang tersedia, hingga berapa pun dapat lunas dengan seketika untuk diselesaikan dengan kesepakatan hingga transaksi yang dilakukan.
Fenomena menarik dalam pemerintahan Indonesia pada akhir belakangan ini, ada semacam fenomena baru dari budaya korupsi yang semakin marak, seperti adanya sikap pembiaran — kalau tidak bisa dikatakan kesengajaan — untuk membuka peluang dan kesempatan bagi pejabat pada level atas — untuk melakukan korupsi, hingga kemudian bisa dijadikan cara untuk menyandera yang bersangkutan dengan imbalan dalam bentuk lain hingga menjadi semakin tersamar untuk disebut korupsi.
Agaknya, dalam konteks ini juga bisa dipahami banyak buronan korupsi yang tetap bisa berkeliaran hingga sampai bertahun-tahun tidak pula dapat ditangkap. Namun cerita dan beritanya terus menghias halaman media masa, utamanya media yang berbasis online seperti untuk menjadi bagian dari upaya mengalihkan perhatian publik dari kasus yang lebih besar agar tidak sempat menjadi topik pembicaraan yang meluas. Itulah sebabnya, sajian media massa acap terasa menjadi sangat menyebalkan dan membosankan. Sebab para pelaku korupsi di negeri ini telah menjadi bagian dari produk politik yang diperjual-belikan dengan transaksi bisnis yang lebih rumit dan sulit untuk dibuktikan.
Tigaraksa, 19 September 2024