Catatan Kesaksian 30 Tahun Silam Yang Perlu Juga Dikenang

By : Jacob Ereste

Janji dan harapan besar, menggantung wanita itu hingga kuyu layu terkulai, tak kunjung berbuah. Dan beban yang sarat dipundaknya, menyunggi berjuta nasib buruh yang dilemahkan dan dimiskinkan. Entah oleh siapa dan entah untuk apa. Dan mungkin kelak ketika kau berkuasa, juga menindas dan memeras, karena kesumat terlanjur lumat menjadi warisan jaman.

Bacaan Lainnya

Itulah sepenggal puisi perlawanan yang melukiskan perjalan hidup Marsinah, seorang aktivis buruh wanita yang tak pernah menyoal masalah gender. Dia meninggal dengan sangat tragis dan mengenaskan, beberapa hari kemudian setelah jasadnya mulai membusuk akibat penganiayaan oleh aparat di Porong, Jawa Timur.

Marsinah, pejuang kaum buruh yang tidak dimakamkan di makam pahlawan, ini ditulis sehari setelah dirinya dinyatakan hilang, diculik oleh aparat setempat karena menggerakkan aksi perlawanan terhadap perusahaan yang keji dan kejam, tak hendak memberi hak-hak yang harus diperoleh kaum buruh setelah bekerja keras dan memeras keringat seharian di tempat kerja.

Puisi perlawanan berjudul “Surat Cinta Kepada Marsinah di Sorga” itu ditulis saat penguasa Orde Baru berada pada puncak represif nya yang tak terukur dari nilai kemanusiaan yang layak dan wajar. Karena itu, puisi perlawanan ini pun sungguh penuh nada kemarahan serta dendam untuk meneruskan perjuangan kaum buruh pada 30 tahun silam di Indonesia yang kini tampak menggejala kembali hendak diulang, sehingga kaum buruh semakin tidak berdaya.

Naskah puisi yang diadaptasi oleh Dramawan Asrizal Nur ke atas pentas drama, sempat menghebohkan, karena saat pementasan di Gelanggang Bulungan, Jakarta Selatan, Gedung pementasannya di gembok oleh aparat keamanan setempat, sehingga pementasan terpaksa dilakukan di halaman gedung gelanggang remaja itu. Ujungnya, memang terus mengundang kemarahan aparat yang memaksa untuk membubarkannya.

Kelompok Teater Buruh yang berada dalam asuhan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang cukup fenomenal ketika itu, melakukan gugatan terhadap keculasan Polisi Resort Jakarta Selatan, dan atas kerja keras LBH SBSI berhasil memenangkan perkara melalui pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sejak itu, semua jenis pementasan di Indonesia mendapat keringanan untuk tidak lagi harus memperoleh ijin pementasan dari 8 pintu instansi yang sangat berbelit dan berliku saat itu. Dan sejumlah apresiasi serta pujian datang dari berbagai seniman maupun budayawan atas kerja keras dan gigih segenap aktivis buruh di negeri ini.

Begitu juga dalam aktivitas perlawanan di gelanggang politik misalnya, hanya aktivis serikat buruh yang memiliki stan khusus saat diadakan mimbar bebas di Jalan Diponegoro hingga berakhir dengan peristiwa berdarah yang terkenal dengan sebutan Kuda Tulu itu. Sayangnya, ketika aktivis pergerakan memperingati 30 tahun peristiwa Kuda Tuli itu, peran besar satu-satunya elemen non partai yang terlibat — SBSI — tidak disebut dalam satu kalimat pun. Begitu juga dalam berbagai peringatan gerakan reformasi 1998 saat menduduki Gedung DPR RI, satu-satunya ormas yang tergabung bersama mahasiswa tampak sengaja hendak dilupakan banyak orang.

Catatan sejarah ini perlu di ungkap untuk mencegah sikap sombong yang tidak penting dan tidak perlu untuk sekedar menggagahi orang lain. Catatan ini ditulis pun, mengingat peristiwa itu sendiri sudah 30 tahun berlalu, seperti standar umum dalam menyimpan rahasia atau dokumen yang tidak perlu diumbar agar tidak sampai menimbulkan kesan kepongahan. Begitulah catatan Kesaksian tiga puluh tahun silam — 1994 — yang mungkin juga perlu dikenang, agar sejarah perlawanan yang pernah dilakukan bisa menjadi sandingan.

Banten, 2 September 2024

Print Friendly, PDF & Email

Pos terkait