Mentreng.com | Jakarta – Tiga fase perkembangan SP/SB di Indonesia pertama ditandai Konvensi ILO no. 87 Tahun 1957 di Indonesia. Pada fase kedua adanya oganisasi tunggal SPSI sampai periode Orde Baru. Pada fase ketiga — reformasi — berkecambahnya organisasi buruh di Indonesia karena terjemahan dari makna kebebasan berserikat ditandai dengan kemunculan SP/SB baik untuk tingkat pusat maupun SP/SB di leval lokal. Demikian pengantar singkat Ketua Umum K. SBSI Johanes Dharta Pakpahan SH., MA., saat diskusi online yang digagas Ketua Komite 3 DPD RI, Prof. Silviana Murni, pada Senin, (08/11 /2021).
Sedangkan menurut Sardo dari SB Solidaritas yang beraviliasi dengan K. SBSI bahwa Komite 3 DPD RI perlu mempertimbangkan banyaknya pelanggaran kebebasan berserikat yang bisa dikenakan delik pidana tapi nyaris tidak ada satu pun kasus yang diproses secara hukum, karena pihak yang berwenang justru beranggapan bila kasus union busting (pelanggaran kebebasan berserikat) itu selalu dianggap tidak memenuhi unsur pidana dan pihak Kepolisian menganggap kasus pelanggaran hak berserikat itu bukan wewenang pihak Kepolisian. Artinya, pihak Kepolisian sendiri perlu mendapat pencerahan dan pemapaman tentang kasus pelanggaran hak berserikat bagi kaum buruh, imbuh Nico Sutrisman dari Koordinatir Wilayah K. SBSI Sumatra Utara.
Ikhwal mengenai Laporan Penyidikan untuk union busting yang diajukan K. SBSI kepada pihak Kepolisian maupun Kemenakertrans RI, boleh dikata tidak satu pun yang diproses, bukan hanya karena dianggap tidak memenuhi unsur pelanggaran pidana, tetapi juga pihak Kepolisian sendiri cenderung menganggap tidak berwenang menangani kasus ketenakerjaan atau perburuhan, kata Sardo dari Korwil SB Solidaritas yang beraviliasi dengan K. SBSI.
Diskusi online yang diinisiasi Komite 3 DPD RI ini terkait denan UU No. 21 Tahun 2000, Tentang Kebebasan Berserikat yang akan segera direvisi. Padahal, masalah yang tidak kalah penting bagi K. SSBI adalah upaya meningkatkan kesadaran dan kapasitas kaum buruh Indonesia agar bisa memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, imbuh Johanes Dharta Pakpahan.
Sebagai nara sumber pembanding hadir juga Arif Maulana dari LBH Jakarta dalam menjaring pendapat dari berbagai pihak ini.
Yang tidak kalah penting menurut
Menurut Johanes Dharta Pakpahan untuk meningkatkan kapasitas kaum buruh dan serikat buruh perlu juga ditingkatkan fungsi dan peranannta untuk ikut memberi pendapat setta ikut mengkritisi poin-poin pokok yang hendak direvisi dari UU No. 13 Tahun 2000 itu. “Jangan sampai terjadi seperti dalam merancang dan pembahasan UU No. 13 Tahun 2020 yang mengabaikan suara buruh dan aspirasi serikat buruh”.(Cob/**)