Mentreng.com | Jakarta – Hanya sosok pemimpin spiritual dan Catur Segotro yanang mampu menyelanatkan bangsa dan negara Indonesia dari ancaman keabrukannya.
Buku trend 2000 yang menawarkan kiat untuk mempersiapkan diri dan menarik keuntungan dalam perubahan abad 21, merupakan bagian dari fenomena dalam siklus peralihan setiap tujuh abad bagi bangsa nusantara yang telah menjadi Indonesia dan sedang terus berproses meniti siklus perubahan tujuh abad tahap keempat yang sedang berlangsung (2001-2700) sekarang ini.
Telaah para ahli yang mengintipnya dari bilik ekonomi, jelas dan terang karena mereka yang melakukan analisis dipandu oleh Gerald Cekente, lembaga Trends Research Institute bersama konsorsium yang memiliki setidaknya dua puluh lima ahli dengan pengalaman interdisipliner yang unik dan luas meliputi ekonomi, politik, sosiologi dan filsafat serta disiplin keilmuan lain. Namun yang kurang, telaahnya dari perspektif spiritual, karena analisis mereka abai pada dimensi yang acap dianggap banyak orang non keilmuan, lantaran soal spiritual memang sulit dicerna oleh akal sehat. Karena laku spiritual itu sendiri memang tidak untuk dimengerti secara nalar, namun cukup dilakoni saja sebagai jalan menuju Tuhan. Dan Tuhan yang diyakini oleh setiap orang itu pun tak perlu dipikirkan. Sebab yang lebih penting adalah perintah, larangan serta anjurannya untuk dan demi kebaikan tak hanya untuk diri sendiri, tapi juga bagi orang lain dan makhluk yang ada serta seisi planet bumi ini.
Jadi laku spiritual itu sungguh ingin mendekatkan diri pada Tuhan serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi yang tak perlu. Itulah sebabnya perilaku kaum sufi acap dianggap memiliki keunikan tersendiri, atau bahkan nyeleneh. Hingga sungguh terkesan tidak umum seperti perilaku mayarakat kebanyakan. Karena kebiasaan kaum sufi acap sangat amat sederhana mulai dari tampilannya maupun cara kerja serta langgam hidup dan kehidupannya. Lantaran yang terpenting bagi kaum sufi adalah laku spiritual yang dinikmatinya itu asyik dalam pengertian lahir dan bathin.
Sementara trend dunia masa kini terus mengoyak dan menerobos pundi-pundi materialisme yang gemerlap, hingga berbanding terbalik — atau bahkan bertolak belakang orienrasinya dari arah dan kecenderungannya yang berlawanan — karena justru kebyakan mereka abai akan sifat illahiah — dan makin menjauh dari Tuhan.
Al Mukarrom, Selamet Maarif, Ketua Presidium Alumni 212 jelas
menyatakan, saat silaturrachmi khusus di kediamannya, Cimanggis, Depok Bogor, bahwa masalah keadilan adalah sikap yang lahir dari kedalaman laku spiritual. Bedanya tinggal seberapa besar nilai-nilai spiritual itu dapat dipelihara dan dijaga oleh masing-masing orang yang melakoninya. Itulah sebabnya setiap orang yang menyaksikan ada ketidakadilan, hatinya akan tergedor — marah — karena setiap orang tidak bisa menerima perlakuan tidak adil itu. Jadi respon spiritual masing-masing orang sangat tergantung dari kadar rasa pirasa kepedulian yang membedakannya dengan yang lain. Maka itu sikap dan respon terhadap sesuatu yang tak adil, akan sangat tergantung pada masing-masing orang yang memiliki getaran dari frekwensi spiritual serta konsistensi dirinya terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Seperti perayaan hari Sumpah Pemuda 1928-2021 tahun ini, menurut Eko Sriyanto Galgendu, sungguh sangat menggembirakan hatinya, lantaran sejauh pendangan dan pemahaman yang senada dengan Ustad Slamet Ma’arif yang sepakat bahwa nilai-nilai spiritual mampu mempersatukan bangsa-bangsa di dunia. Karena spiritual — yang berinti pada sikap jujur dan adil itu mempunyai kepentingan yang sama bagi banyak orang — kerinduan mendekat kepada Tuhan.
Semua orang yang mengarahkan langkahnta menuju Tuhan, tidak akan pernah bergesekan denfan pihak mana pun. Jadi sangat berbeda dengan politik atau ekonomi yang mempuyai kepentingan-kepentingan tersendiri, termasuk budaya yang juga masih mempunyai segi perbedaan dalam tata nilai-nilai capaian keluhuran yang hendak direngkuh. sekali pun wujud dari rasa kebersamaan bagi semua orang itu — seperti laku spiritual — hanya ingin memuliakan Tugan yan telah memuliakan manusia. Itulah sebabnya, kata Slamet Ma’arif, saat GMRI silaturrachmi Rabu 27 Oktiber 2021 ke pesantren yang juga berada dalam lingkungan tempat tinggaknya itu, bisa dipastikan bila setiap anak manusia itu punya nilai-nilai spiritual. Dan layak bangkit saat ini untuk menjawab ragam masalah yang membelit hidup dan kehidupan manusia yang kehilangan arah hingga tersuruk pada perilaku buruk dan bejad yang tidak manusuawi.
Sementara Eko Sriyanto Galgendu sebagai petugas dari para raja-raja dan juga petugas para pemimpin agama di Indonesia — yang menjabat Ketua Umum Lintas Agama — telah menggagas gerakan kebangkitan kesadaran spiritual jauh sebelum masuk pada siklus peralihan abad milineal sekarang ini sejak dua puluh tahun silam. Jadi sekarang, kondisi dan situasinya seperti diungkap oleh Prof.Dr. KPH Gunawan Sumodingrat demakin banyak iblis yang berujud manusia. Maka itu bagian dari tugas terberat yang harus dihadapi oleh GMRI sebagai lokomotif penggerak serta gerbong pengusung dari gerakan kebangkitan kesadaran spuritual bagi bangsa dan negara Indonesia.
Ini pila tantangan berat yang harus dihadapi oleh warga bangsa Indonesia sendiri dalam guncangan pedadaban yang terus mencari bentuknya dalam upaya menata hidup dan kehidupan hari ini guna menyongsong masa depan yang kebih baik dan lebih beradab.
Menurut Profesor Dr. KPH. Gunawan Sumodiningrat, sesungguhnya Gusti Allah sendiri sudah “matur” atau memberi isyarat atau semacam teguran kepada manusia. Maka itu dalam kondisi dan situasi runyam seperti sakarang ini harus segera bangkit kesadaran spiritual itu agar bisa segera dapat membenahi serta menyelamatkan segenap warga bangsa dan negara Indonesia yang tengah terancam ambruk dan rubtuhnya peradaban yang kelak akan jadi warisan bagi anak cucu kita di masa mendatang.
Karenanya, kondisi dan situasi yang rusak dan kacau ini harus dapat segera diatasi agat bangsa dan negara Indonesia bisa mengatasi dan mampu mengantisipasi ancaman itu tidak sampai menjadi bencana yang mencederai segenap tata kehidupan kita.
Dalam upaya penerawangan dari perspektif yang lain, hanya dimensi spiritual yang mampun mengatasi segenap masalah — utamanya politik dan ekonomi — yang tidak mungkin bisa diatasi oleh para politisi maupun para ekonom yang ada — sebab mereka sendiri pun asyik bertikai, berebut posisi atau kedudukan serta pengaruh dan dominasinya untuk berkuasa.
Masalah kerusakan tatanan kehidupan ini, alternatif lainnya ganya ada di bilik keraton. Hanya saja masalahnya, bagaimana mungkin semua sengkarut bangsa dan negara ini bisa diatasi, jik pihak keraton sendiri sedang dilanda masalah internal yang tak kalah rumit dan pelik itu.
Catur Segotro sebagai kekuatan satu-satunya yang mampu menyelamatkan keterpurukan dan perpecahan bangsa dan negara Indonesia yang semakin terasa menjadi ancaman sangat mencemaskan. (Jacob Ereste : 23- 26 Oktober 2021, Konsolidasi Spiritual). Demikian ungkap Prof. Dr. KPH. Gunawan Sumodiningrat. Karena masalah bangsa dan negara yang pelik dan rumit ini hanya mungkin dapat diselesaikan oleh pihak keraton. Karena itu pelakunya adalah sosok yang terbebas dari pengaruh maupun tekanan dari pihak manapun, bukan cuma tekanan politik, tapi juga tekanan agama. Dan posisi netral itu hanya mungkin ada pada sosok yang tekun dan kuat melakoni laku spiritual secara konsisten. Sebab tokoh politik dan para ekonom ada kepentingan dan pamrih yang semakin kuat menindih dan semakin berat menjadi beban dan ambisi yang lebih bersifat pribadi. (Jacob Ereste)
Jakarta, 28-31 Oktober 2021