“ Enam Tahun di Padang Panjang” (Antara Cita, Cinta dan Realita)

Oleh: DARMIWANDI, S.Ag. M.H.

Bagian : 1

Bacaan Lainnya

“ SEHARI MENJELANG”

Harinya aku masih ingat, tanggalnya aku lupa, bulannya aku masih ragu, namun tahunnya boleh dipastikan 1986 ( mudah-mudahan ada yang mengingatkan karna ada yang aku lupa), aku dan teman-teman yang seniat dengan aku akan bertemu pada hari Senin. Pada hari senin tersebut, aku harus hadir di sebuah Madrasah tempat aku satu-satunya mendaftar untuk melanjutkan Pendidikan Dasar ku. Gedung Madrasah baru itu dibangun di lokasi yang tidak jauh dari tepi jalan antara Padang Panjang dan Bukittingi, tepatnya di Ganting Bukit Surungan dalam Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar. Letak Madarasah di wilayah Kabupaten Tanah Datar, namun terkenal dengan nama MTsN Ganting Padang Panjang.

Hari minggu, sehari menjelang aku pertama masuk lokal dan menduduki bangku pelajaran untuk menuntut ilmu pengetahuan, aku masih ngat dengan kebiasaan aktivitas aku sehari-hari terutama setelah sholat subuh dan di pagi hari menjelang berangkat sekolah adalah berjualan gorengan berkeliling kampung yang ada di dalam nagari Paninggahan.

Hampir setiap subuh sampai pagi, ibu ku tercinta sibuk menyiapkan jualan yang harus aku jualkan. Hasil dari jualan gorengan ini adalah untuk membantu perekonomian kelaurga kami yang tergolong rendah. Kenapa tidak dikatakan “miskin” tetapi “rendah”?, karena kami merasa masih ada perekonomian orang lain yang masih susah dari kehidupan kami, miskipun tidak jarang juga aku sendiri meminjam beras untuk dimasak kepada tetangga terdekat.

Sebelum berangkat menjual gorengan, aku belum mempersiapkan perlengkapan yang akan aku bawa utnuk pergi ke Padang Panjang. Entah kenapa, seolah-olah aku biasa-biasa saja di saat itu. Mungkin sedikit berbeda dengan dengan teman-teman ku yang lain, dimana mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya beberapa hari/jauh-jauh hari sebelum meninggalkan kampung halaman untuk pergi sekolah ke Padang Panjang.

Setiap gorengan yang telah masak dan dibangkit oleh amak ku, aku hitung ke dalam dulang. Dulang penuh sesuai dengan hitungan ku, akupun melangkahkan kaki menuju pematang sawah, jalan setapak dan jalan besar sambil meneriakkan “ Goreng…Goreng…Goreng…”.
Bersambung……………….

Print Friendly, PDF & Email

Pos terkait