By : Jacob Ereste
Yang menarik deklarasi etika global yang diproklamirkan oleh Parlemen Agama-agama Dunia sungguh menarik dan mengindikasikan bahwa deklarasi yang diekspresikan secara universal– global — bermula dari motivasi keagamaan bahwa realitas dunia empiris saat ini bukan realitas dan kebenaran spiritual yang intim, suprim dan absolut. Jadi, etika global dan nilai-nilai humanistik yang diurai Dr. H. Sholihan M.Ag, bahwa dalam etika global yang sangat diperlukan tidak hanya sekedar kesadaran kosmis, harmoni global, kreatifitas spiritual, kesatuan universal, cinta untuk semua dan visi spiritual untuk dunia yang lebih baik, tetapi juga bermuka dari realitas ekonomi, politik dan sosial masyarakat industri yang sangat kompleks dan rumit.
Apresiasi Dr. H. Sholihan M.Ag, tentang etika global yang dideklarasikan oleh Parlemen Agama-agama Dunia adalah suatu etika yang berlandaskan pada nilai-nilai etik dari agama-agama yang ada di dunia. Tapi etika global bukan ideologi global atau kesatuan agama diatas semua agama yang ada. Dan tidak juga ada dominasi satu agama terhadap agama yang lain.
Karena itu, etika global sebagaimana yang dimaksud dari Parlemen Agama-agama di dunia yang ada adalah konsensus fundamental tentang nilai yang mengikat, standar permanen yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap personal. Maka itu, komitmen pada budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan.
Bahkan, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil, hingga komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang benar, hingga komitmen pada budaya persamaan hak dan kemitraan-sejajar antara laki-laki dengan perempuan.
Signifikansinya etika global bagi Mada depan umat manusia dalam beragam bangsa di dunia, tidak untuk mereduksi agama pada level yang semata-mata bersifat moral. Bahkan etika global tidak menafikan karakteristik yang khas dari setiap agama yang ada.
Etika global sebagai konsensus moral bersama antar umat beragama, menurut Dr. H. Sholihan M.Ag., dapat dilihat dari arah yang sebaliknya, yaitu sebagai langkah kooperatif yang kritis untuk merumuskan tanggung jawab global guna menghadapi krisis global yang bersifat fundamental yang sedang melantak dunia. Karena akibatnya jelas menjadi ancaman bagi masa depan manusia di bumi, tanpa kecuali bagi seorang pun.
Karena itu, semboyan membangun jiwa lebih dahulu dan lebih penting dari membangun raga bagi manusia (Indonesia) sejak kesadaran kemerdekaan di proklamasikan pada tahun 1945. Sebab upaya membangun jiwa yang kuat dan tegar akan menjadi pendorong upaya dari membangun raga yang memiliki wilayah terbatas pada cakupan intelektual, diluar kemampuan dan kecerdasan spiritual. Kaitannya dengan etika global yang dicanangkan oleh Parlemen Agama-agama Dunia sebagai respon pada modernisme yang telah melontarkan ilmu pengetahuan setinggi langit tanpa kebijakan dengan teknologi tanpa spiritual dan industri yang mengabaikan ekologi serta demokrasi hampa moralitas, adalah pemicu krisis fundamental; krisis ekonomi, krisis ekologi dan krisis politik dalam skala global seperti yang dirumuskan oleh Hans Kung yang menjadi konsep dasar dari gagasan pokok Parlemen Agama-agama Dunia yang implisit mengakui tengah menghadapi ancaman peradaban yang serius bagi umat manusia dalam peralihan siklus tujuh abad ke empat sekarang ini.
Dalam siklus peralihan tujuh abad ke empat, sungguh sangat diyakini oleh para penekun laku spiritual akan segera munculnya suatu bentuk peradaban baru manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Atau semacam titik balik — atau semacam penyimpangan — dari peradaban yang cuma mampu diperkirakan semacam benturan peradaban. Hingga pertanyaan tentang keberadaan etika global jadi semakin relevan untuk dibicarakan.
Banten, 11 Oktober 2024