Jacob Ereste
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024 menunjukkan bahwa ongkos untuk masuk dalam wilayah politik sungguh mahal. Artinya, kesulitan suatu daerah menampilkan tokoh-tokoh politik terbaik dari daerahnya masing-masing-masing itu untuk menjadi pemimpin di daerah melalui Pilkada jelas bukan lantaran pembinaan sistem politik di daerah gagal dilakukan partai politik maupun tokoh masyarakat setempat, tapi lebih mungkin disebabkan oleh rumit dan mahalnya ongkos yang harus disediakan untuk mengikuti proses pencalonan hingga proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Secara umum memang fenomena dari banyaknya kotak kosong dalam Pilkada 2024 disebabkan kegagalan partai politik sendiri membangun budaya politik, sehingga jadi berbasis material, bukan berdasarkan idealisme politik yang mengedepankan kemampuan, kapabilitas dan integritas kader yang dapat menjadi unggulan partai. Jadi sangat mungkin dari fenomena kotak kosong yang cukup banyak menghantui Pilkada 2024, akibat dari ongkos Pilkada yang begitu besar harus disediakan oleh para calon kandidat kepala daerah melalui Pilkada 2024. Karena calon independen pun realitasnya tidak juga berminat. Padahal, orang kaya di daerah cukup banyak. Tetapi tampak enggan mengikuti kompetisi lewat Pilkada yang sangat terbuka dan juga sangat mahal itu.
Andai pun tetap ada — termasuk calon independen yang mau ikut menjadi peserta calon kepala daerah lewat Pilkada — itu tidak seberapa jumlahnya. Akibatnya pun, menjadi kuat untuk diduga mereka itu kelak akan menjadi semacam makhluk pemangsa yang rakus, setidaknya untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan cukup besar itu. Akibat terusannya, tentu saja orientasi dalam kepemimpinan yang dilakukannya lebih cenderung abai pada sikap pengabdian yang harus dilakukan untuk rakyat.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024 telah menjadi masalah tambahan bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum) sehingga merasa perlu untuk melakukan pembahasan khusus bersama DPR RI dari Komisi II tentang kotak kosong pada Pilkada 2024 para 20 September 2024. Karena KPU sendiri telah mencatat ada 41 daerah yang memiliki satu pasangan calon kepala daerah — calon tunggal — pada Pilkada serentak tahun 2024. Jadi dalam menyikapi 41 daerah yang akan diikuti oleh kotak kosong dalam Pilkada 2024 ini terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten dan lima walikota, telah menjadi masalah tersendiri. Sebab msalah kotak kosong dalam Pilkada 2024 di Indonesia yang tidak pernah dapat dibayangkan sebelumnya menjadi sedemikian rumit, pun tidak memberi jaminan dengan cara melakukan Pilkada ulang. Demikian juga dengan percepatan Pilkada berikutnya, meski dengan cara membuka pendaftaran baru selebar-lebarnya hingga pemimpin dari daerah setempat tetap dipimpin oleh pejabat yang telah menjadi pejabat sebelumnya. Begitu juga bila pelaksanaan Pilkada akan dilakukan lima tahun ke depan oleh pejabat setempat yang telah menjadi pejabat di daerah tersebut — yang statusnya adalah pejabat yang ditunjuk untuk sementara waktu — juga menimbulkan persoalan baru.
Karena itu, penggantian sejumlah pejabat Kepala Daerah sebelumnya karena harus melakukan Pilkada serentak, semakin tidak bisa dipaham relevansinya dengan budaya demokrasi yang harus dipraktekkan dalam budaya politik di Indonesia sampai hari ini.
Yang pasti, fenomena banyaknya kotak kosong dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2024 patut diduga sebagai budaya perlawanan politik dalam bentuk pembangkangan yang tidak mampu diucapkan oleh tokoh politik dalam menyikapi budaya politik yang tidak sehat.
Tangerang, 13 September 2024