FIB UI Melaksanakan Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat

Mentreng.com  |  Jawa Tengah – Tim pengmas FIB UI telah melaksanakan program pengabdian dan pemberdayaan masyarakat di Klaten, Jawa Tengah. Tim ini beranggotakan seorang dosen, bapak Dr. Darmoko, S.S., M.Hum. dan lima orang mahasiswa, yaitu Galang Adhi Pradipta, Roslinda Azzahro, Sri Ustika Mulyaningtyas, Moh. Iqbal Fauzi dan Ahmad Adam Maulana. Sebagai pemerhati budaya, tim pengmas FIB UI merasa perlu mengulurkan tangan untuk melakukan pengembangan dan pelestarian budaya. Sasaran program pengmas ini adalah anggota Sanggar Marsudi Budaya di Desa Borongan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Sabtu (10/12/2022)

Klaten dipilih oleh tim pengmas karena memiliki atmosfer kebudayaan yang sangat pekat. Kebudayaan Kabupaten Klaten dipengaruhi oleh Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan letak geografis Kabupaten Klaten yang berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur, Kabupaten Gunungkidul di sebelah selatan, Kabupaten Sleman di sebelah barat, serta Kabupaten Boyolali di sebelah utara. Maka dari itu, Kabupaten Klaten masih mewarisi kebudayaan dan tradisi mataram, khususnya Desa Borongan. Program ini merupakan salah satu bentuk sumbangsih dari Tim pengams FIB UI untuk mendukung program dunia, yakni Sustainable Development Goals (SDG’s). Tim pengmas mengusung program pendidikan berkualitas yang menjadi slaah satu tonggak utama dalam memperbaiki sumber daya manusia.

Desa Borongan merupakan salah satu desa di Kabupaten Klaten yang memiliki banyak produk kebudayaan. Produk kebudayaan yang hingga saat ini masih dilestarikan adalah tradisi dan adat istiadat yang ada dalam masyarakat. Tradisi tersebut diantaranya adalah tradisi punggahan dan tradisi pembuatan kue apem. Dalam bidang pertanian terdapat tradisi najeni, wiwit dan samirun. Kepala Desa Borongan, S. Setyo Budi dalam wawancara podcast pengmas FIB UI Jum’at, 9 Desember 2022 mengungkapkan bahwa kegiatan kebudayaan di Desa Borongan masih sangat terpusat dan cenderung mengandalkan kepala desa. Hampir semua elemen tradisi harus melibatkan kepala desa. Untuk itu, Budi memiliki inisiatif untuk membuat paguyuban pelestari budaya sebagai wadah untuk mengembangkan kebudayaan di Desa Borongan.

Paguyuban ini diberi nama Paguyuban Marsudi Budaya. Paguyuban ini telah berdiri selama empat tahun. Tujuan didirikannya paguyuban ini adalah untuk membagikan ilmu tentang kebudayaan, kepada warga dan khususnya ketua RT di Desa Borongan. Pak Budi berharap, dengan dibagikannya ilmu tentang kebudayaan dan tradisi ini akan memudahkan warga untuk melaksanakan tradisi kebudayaan tanpa harus bertumpu kepada kepala desa. Manfaat yang dapat dirasakan semenjak adanya Sanggar Marsudi Budaya ini adalah dapat memupuk tali persaudaraan dan kerukunan natra warga karena selalu melakukan kegiatan-kegiatan dan diskusi dalam tujuan melestarikan budaya.

Sejak empat tahun berdiri, sanggar ini telah sibuk melakukan pengembangan dan pelestarian budaya. Marsudi Budaya mulai merangkak mempelajari teks-teks untuk memimpin sebuah acara tradisi di Desa Borongan. Potensi desa dan adanya sanggar ini menarik para tim pengabdian dan pemberdayaan masyarakat untuk turut andil dalam mensukseskan pelestarian budaya. Oleh karena itu, pengetahuan kebudayaan anggota sanggar semakin meningkat. Program tim pengmas FIB UI kali ini mengangkat tema “Pengomplementasian Sasmitaning Gendhing”. Yang tentu saja akan membagikan pengetahuan terkait sasmitaning gendhing pada anggota Paguyuban Marsudi Budaya dan warga Desa Borongan.

Frasa Sasmitaning Gending terdiri dari dua kata, yakni sasmita ‘tanda, isyarat, sinyal, pesan’ dan gendhing ‘komposisi musik tradisional Jawa yang mengandung nada dan irama tertentu’. Dapat disimpulkan bahwa sasmitaning gendhing adalah ilmu yang mempelajari isyarat, tanda yang ada di dalam gendhing yang disampaikan oleh pengarang secara tersirat. Sasmitaning gendhing sering disampaikan oleh seorang dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Sang dalang seringkali melantunkan ekspresi bahasa ini sebagai isyarat kepada pemusik untuk memainkan komposisi musik tertentu dalam sebuah pertunjukkan. Tidak hanya dalang, pelaku seni lainnya seperti seorang pranatacara ‘pembawa acara adat Jawa’ juga menggunakan sasmitaning gendhing dalam membawa acara seperti pernikahan adat Jawa.

Untuk membagikan pengetahuan terkait sasmitaning gendhing, Tim pengmas FIB UI mengundang para tokoh budaya di Desa Borongan, diantaranya merupakan anggota Sanggar Marsudi Budaya, guru sekolah dasar, dan bapak kepala desa. Dalam acara tersebut, Darmoko memaparkan penjelasan terkait sasmitaning gendhing. Darmoko mengatakan, untuk menafsirkan objek budaya diperlukan sanggit yang merupakan metode lokal yang mengandung konsep penafsiran othak-athik gathuk. Penafsiran terhadap sasmitaning gendhing tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas, melakukan pelatihan berkali-kali, memiliki kepekaan intuisi, kekuatan imajinasi dan penguasaan kode budaya yang cukup. Kriteria tersebut harus dipenuhi agar dapat menafsirkan objek budaya yang hampir mirip dengan maksud pengarang atau bahkan tepat sama persis dengan maksud sang pengarang.

Dalam paparannya, Darmoko mengutip tembang-tembang macapat yang sudah terkenal dalam adat dan kebiasaan masyarakat Jawa. Hal ini mempermudah pemaparan karena isi dari tembang-tembang tersebut terdengar familiar di telinga para audiens. Pemilihan tembang juga menggunakan pilihan kosa kata yang mudah, sehingga peserta mengerti apa yang ingin disampaikan penyaji dalam pemaparan tersebut. Contoh, penggunan gabungan kata perkutut manggung pada teks pranatacara yang mengandung makna bahwa sang pengantin merupakan raja dan ratu sehari yang sedang dijadikan pusat perhatian oleh para tamu undangan.

Penyampaian konsep penafsiran sasmitaning gendhing ini difasilitasi oleh kepala desa dalam bentuk sarasehan yang dilaksanakan di kantor Kepala Desa Borongan. Para partisipan sangat antusias turut menanggapi paparan dari Daroko mengenai sasmitaning gendhing. Beberapa diantaranya telah mengetahui macam-macam gendhing yang dipaparkan sehingga sarah sehan tersebut berjalan dengan baik dan lancar. Para hadirin dalam sarasehan tersebut mendapatkan pengetahuan baru yang dapat dilatih dalam membawakan suatu acara sebagai seorang pranatacara. Selain itu, kegiatan ini memupuk persaudaraan dan memperkuat jalinan tali silaturahmi warga Desa Borongan dan Sanggar Marsudi Budaya.

Kegiatan pengabdian masyarakat ini merupakan hal yang ditunggu oleh warga Desa Borongan dan Sanggar Marsudi Budaya. Karena selain mendapatkan pengetahuan baru tentang kesenian dan kebudayaan Jawa, program pengabdian dan pemberdayaan masyarakat ini memiliki tujuan besar untuk mencari potensi-potensi pengembangan budaya yang terkait dengan seluruh aspek-aspek budaya yangberkolerasi dengan masyarakat Desa Borongan. Kehadiran tim ini memberikan harapan bagi warga agar desa dan sanggarnya terus dihadiri oleh tim pengabdian dan pemberdayaanmasyarakat demi mendapatkan pelatihan dan pengetahuan baru untuk pengembangan dan pelestarian budaya di Desa Borongan ini. (M.Ikcsan)

 

 

Print Friendly, PDF & Email

Pos terkait