Jacob Ereste
Komitmen adalah sikap yang teguh mematuhi janji yang tertulis maupun yang tidak tertulis terhadap orang lainaupun kepada diri sendiri. Begitu juga kesetiaan, seperti sisi lain dari uang logam yang sama, namun lebih menekankan pada ikatan batin yang tidak kasat mata, tapi implenentasinya harus diujudkan secara jujur dan ikhlas tanpa tekanan maupun keterpaksaan. Karena itu semua bentuk komitmen dan kesetiaan itu yang otentik akan menjadi bagian dari jati diri yang menentukan watak hingga perangai yang bersangkutan, dalamtatanan keindagan yang harmoni sebagai suatu kepribadian yang betakhlak muliaan.
Setiap orang dalam upaya membangun relasi dengan pihak lain, mulai dari hubungan personal, kolegial hingga kelembagaan sifatnya sangat memerlukan komitmen dan kesetiaan. Baik yang bersifat pribadi, komunal, kelegial atau pun kelembagaan, organisasi dalam lingkuo keluarga, kekerabatan, di lingkungan kerja sampai pada tata kelola pergaulan sehari-hari yang sangat plural sifatnya dan corak ragamnya.
Jadi komitmen atau kesetiaan itu juga yang akan menjadi pegangan bagi semua pihak lain dalam menerima tampilan satu dosok yang akan menjadi bagian dari berbagai aktivitas bersama sebagai dasar dari perilaku bagi siapa pun yang mengidolakan manggengan dalam menata kehidupan sehari-hari dalam berbagai aktivitas. Kendati untuk sebagian orang, komitnen dan kedetiaan itu acap dianggap terlalu romantis untuk dipelihara sebagai bsgian dari jati diri untuk kepribadian yang unik dan khas. Sikap yang rapuh dan labil dalam kemitmen dan kesetiaan ini pun bisa dominan mewarnai kaum intekektual yang yang terlanjur memiliki pamrih dan hasrat besar terhadap harta dan kekuasaan, sehingga muncul sifat dan sikap hipokrit, penjilat, penghambaan diri atau bahkan sikap khianat, kendati dia sendiri cukup paham bahwa pilihan sikap yang bertentangan dengan hati nuraninya itu mendapat perlawanan yang cukup keras.
Karens itu untuk meredakan birahi duniawi ini, perlu kembali merinci pemahaman dan penghayatan terhadap etika, moral dan akhkak. Bahka kemuliaan manusia itu — sebagai khalifah wakil Tuhan di bumi — patut direnungkan. Setidaknya agar tidak semakin jauh tersesat.
Tidam adanya komitmen dan nilai-nilai kesetiaan yang dominan berada diluar kendali kecerdassn intelektual — karena memang dominan berada dalam wilayah spiritual, maka kesadaran dan pemahman mrnjadi sangat penting untuk dijadikan sumber rujukan agar sikap egoistis yang ingin menang atau untung sendiri dan enak sendiri dapat dijknakkan, hingga tidak sampai merugikan orang lain. Sialnya memang komitmen dan sikap kesetiaan yang kita pegang teguh acap tidak diapresiasi dengan patut dari pihak lain. Utamanys dari pihak yang sangat kita harap punyai komitmen dan kesetiaan yang setara dengan sikap kita.
Akibatnya pun, bukan sekedar menfmgecewakan saja, tapi yang tidak kalah bahayanya respon negatif serupa itu bisa nenular, atau mengkontaminasiketeguhan sikap kita yang rentan dari kerapuhan. Seperti contoh yang telah banyak terjadi, seorang kawan yang kita kenal sangat idealis, ketika masum dalam sistem pemetintahan yang bobrok, dia pun ikut melakukan perilaku yang tercela seperti yang umumnya sudah biasa dikakukan oleh mereka yang brengsek itu. Dilemanya memang — untuk berkukuh dengan sikap pribadi yang otentik — harus menghadapi resiko tersisih atau disisihkan dari kelompok yang sudah berpegang pada pekem yang sama — untuk berbuat culas, melakukan korupsi dan sejenisnya tanpa merasa berdosa.
Jadi usaha dan upaya untuk mengedepankan kokitmen dan kesetiaan itu hanya mungkin dapat berjalan mulus bila bisa menjadi sikap bersama, meski tidak harus sslalu persis dan utuh seperti yang diidealkan semula. Sebab hanya dengan komitmen dan kesetiaan itu garansi dari kelanggengan kebersamaan atau kerja bareng untuk mencapai sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak tidak sampai merugikan pihak lain. Sebab dari kesepakatan yang tertulis maupun kesepakatan yang tidak tertulis dalam bentuk konvensi misalnya, kelanggengan dan keharmonisan bisa dinikmati bersama.
Cianjur, 15 Juli 2024