Mentreng.com | Banten – Peralihan abad 21 sedang berlangsung. Peradaban manusia baru pun sedang diukir. Lalu sebagian orang yang optimis berujar, seberapa kuat dan banyak serta dominannya kemamouan untuk beradaptasi dalam lompatan-lompatan perubahan yang akan terus berlangsung, tanpa hirau pada keinginan untuk ikut atau tidak, atau mencari dan menemukan jalan baru yang harus dipilih.
Trend yang ditelusuri para futurolog serta ilmuan lain dalam upaya menyikapi perubahan jaman yang terus bergulir ini, cukup banyak yang menawarkan cara menghadapi, melewati atau cara menghindar, atau sekedar bertahan dalam menghadapi mileneum terkini yang juga menawarkan banyak peluang untuk berkreasi — mengekspresikan — gaya hidup yang menjadi pilihan untuk tampil dengan nilai dan mutu serta kualitas yang menyenangkan dan memberi banyak mandaat bagi banyak orang.
Setidaknya, mulai dari lingkungan keluarga, tetangga hingga saudara se kampung sampai kawan-kawan se kota, rekan satu negara serta benua atau bahkan se jagat raya ciptaan Yang Maha Kuasa atas segenap makhluk yang ada. Dan manusia — seperti dalam sejumlah surat perjanjian, istilah umum yang acap dikatakan Eko Sriyanto Gakgendu, selaku penggagas sejaligus pelaku gerakan kebangkitan kesadaran spititual untuk bangsa dan negara Indonesia — percaya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk lainnya. Termasuk setan, iblis maupun Malaikat. Lantas mengapa manusia acap minder atau merasa rendah diri ketika bersanding dengan mareka ?
Inilah bagian dari misteri yang jadi bagian dari kekayaan dimensi spiritual yang dimiliki oleh manusia.
Dalam versi Slamet Ma,arif, setiap manusia itu memiliki energi dan potensi spiritual. Hanya saja masalahnya, sejauh mana yang bersangkutan mau mengembangkan dan mengekplirasi potensi dan energi spiritual yang dimilikinya.
Dimensi atau vibrasi spiritual bangsa-bangsa Timur — khususnya bagi bangsa Indonesia — sungguh sangat luar biasa. Itulah sebabnya kesan religiusitas bangsa Indonesia bagi bangsa asing — utamanya Barat dan Eropa — sungguh sangat mengagumkan. Lalu mengapa potensi itu tidak diberdayakan secara maksimal ?
Pada umumnya bangsa Indonesia yang relatif baru melongok dunia modern, masih terkagum-kagum pada hal-hal yang baru. Termasuk ideologi seperti kapitasme dan liberalisme yang kini sudah diperbaharui menjadi neo-liberal. Hingga bangsa Indonesia semakin tergagap- gagap, takjub menerimanya begitu saja. Dan akibatnya jelas, seperti yang diungkap oleh Kardinal Ignatius Suharyo, banyak muncul berhala- berhala baru yang disembah sedemikian rupa, seperti harta dan kekuasaan. Lalu akibat terusannya adalah korupsi, sogok menyogok dan money politik demi dan untuk tahta yang tidak berdasarkan atas amanat rakyat. Padahal yang mau diatur oleh kekuasaan itu adalah rakyat.
Atas dasar inilah, GMRI menurut Eko Sriyanto Galgendu selaku penggagas sekaligus motor penggeraknya, harus melahirkan pemimpin spiritual yang mampu membimbing pemimpin politik maupun penguasa ekonomi agar bisa berprilaku ugahari, jujur dan ikhkas. Tidak tamak dan tidak rakus serta ingin berbuai baik kepada orang banyak. Bukan cuma untuk dirinya sendiri atau keluarganya semata. Sehingga konsepsi ideal dari rachmatan lil alamin dapat menjadi acuan dan petangan bersama dalam menata kehidupan yang harmoni, selaras dan seirama dengan alam dan seisinya.
Upaya untuk membangkitkan gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual bagi segenap warga bangsa Indonesia, bukan hanya untuk mengatasi carut-marut yang sedang terjadi hari ini. Fenomen dari keambrukan dari tatanan moral dan etika serta akhlak mulia manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang pada dasarnya memiliki fitrah illahiah paling sempurna dibanding makhluk ciptaan Tuhan yang lain, perlu menjadi perhatian semua pihak. Lantaran tatanan hidup yang lebih harmoni, lebih beradab pada masa depan untuk generasi berikutnya patut dijaga bersama, sebagai bagian dari ujud ibadhah yang kelak harus dipertanggung jawabkan pula selaku khalifah Allah di muka bumi. (Jacob Ereste)