Menghembuskan Islamophobia Justru Semakin Memperluas Simpati, Dukungan, Solidaritas dan Rasa Cinta Warga Masyarakat Terhadap Islam

By : Jacob Ereste

Historikal dari munculnya istilah Islamophobia ternyata dapat diusut dari dalam literatur Perancis pada awal abad ke-20 sebagai bentuk dari ekspresi sentimen dan kebijakan Anti Muslim hingga kemudian sangat populer dalam bahasa Inggris pada tahun 1990-an. Dalam perkembangannya kemudian definisi Islanophobia yang dilembagakan dan dimanifestasikan dalam sikap buruk tersebut dipicu oleh visibilitas identitas Muslim yang dipersepsikan sebagai korban.

Pemahaman ini juga menafsirkan Islamophobia sebagai bentuk rasisme, sehingga agama, tradisi dan budaya Islam dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai budaya Barat. Karena itu sejumlah pakar lebih suka menyebutnya “Kebencian Anti Muslim” bukan Anti Islam, karena khawatir istilah “Islamophobia” bisa menganggap semua kritik terhadap Islam akan membatasi kebebasan berekspresi.

Padahal, definisi Islamophobia sendiri adalah pandangan dan sikap yang mengandung prasangka ketakutan, prasangka buruk dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam yang tidak jelas alasannya.

Aksi unjuk rasa Anti Muslim yang pernah terjadi di beberapa negara, justru menginspirasi tumbuhnya rasa cinta. Kejadian di Minneapolis hingga Seatle yang dilakukan warga Amerika justru menunjukkan dukungannya kepada umat Islam (12 Juni 2017) menjadi bangkit. Act for America — kelompok Anti Islam dari kelas bawah terbesar di Amerika pernah menggelar aksi “March Against Sharia” di sekitar 20 kota. Melalui kelompok tersebut, mereka menggalang dukungan dari warga terhadap konspirasi bahwa Muslim Amerika — yang jumlahnya hanya satu persen dari total populasi AS — dianggap telah melakukan pemaksaan berlakunya hukum Islam kepada semua warga AS. Catatan lain, ada juga serangan yang sangat melukai hati Umat Islam karena mengesankan Islamophobia di Majid Al Noor di Christchurch, New Zaeland pada tahun 2019 sungguh sangat melukai hati umat Islam.

Di Balai Kota New York pada 10 Juni 2017, Act for America secara nyata menunjukkan sebagai kelompok aktivis Anti Islam dengan mengorganisir protes di seluruh Amerika Serikat anti hukum syariah. Alasannya untuk hak asasi manusia dan membela sekutu Muslim yang moderat. Namun pesan aksi Act for America yang Anti Islam ini menuai kecamatan dari berbagai kelompok agama dan hak sipil Amerika sendiri.

Agaknya, dari berbagai latar belakang kesan yang hendak menyebutkan Islam inilah resolusi Pada 15 Maret 2022 yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) merasa perlu untukn segerab menetapkan sebagai Hari Internasional untuk memerangi Islamophobia. Sejak itu Ibu-ibu di Indonesia — terutama yang tergabung dalam Aspirasi Indonesia yang dibesut Wati Salam dan kawan-kawannya di Jakarta dan dari berbagai daerah mempelopori aksi Anti Islamophobia dengan tujuan agar pemerintah Indonesia menerima dan mensahkan hari Anti Islamophobia menjadi hari libur nasional di Indonesia agar bisa terus diingat bahwa sikap dari siapapun– utama bagi generasi muda — bahwa Islamophia itu perlakuan diskriminatif bagi suatu bangsa, etnis maupun ras.

Gelombang kebencian terhadap Umat Islam ini menjadi pendorong Sekretaris Jendral PBB, Antonio Guterres berulang kali mengutuk tindakan kebencian dan kefanatikan anti Islam ini yang terus terjadi di berbagai negara dan daerah.

Karena akibatnya pun bisa mendorong sentimen yang lebih buruk terhadap pemeluk agama lain yang dipercaya banyak orang di dunia. Tren yang sangat mengkhawatirkan ini sangat mungkin tidak hanya membidik umat Islam, tapi bis juga terjadi pada komunitas agama-agama lain yang ada di dunia.

Dalam pesan Sekjen PBB untuk hari Internasional memerangi Islamophobia, Antonio Guterres memperingatkan umat Islam menghadapi diskriminasi institusional, penghambatan berbagai aktivitas dan pelanggaran hak asasi manusia serta sikap yang merendahkan martabat umat Islam. Retorika yang bersifat ingin memecah belah ini dan misrepresentasi dan menstigmatisasi i
Umat Islam ini sebagai rangkaian dari ujaran kebencian telah memicu tindak kekerasan dalam berbagai bentuk di berbagai tempat di dunia.

Karena itu, sebagai pejabat organisasi bangsa-bangsa se dunia, melalui PBB mendesak seluruh pemimpin serta individu masyarakat untuk mengutuk wacana yang menghasut, menjaga kebebasan beragama dan mendorong untuk saling menghormati dan memiliki pengertian dalam berbagai bidang termasuk pada platform digital dilindungi dari sikap pelecehan.

Program aksi yang dipelopori oleh Kepala Hak Asasi Manusia PBB sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 2019 hingga saat operasi militer dilakukan Israel di Gaza. Lalu Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang disponsori 60 negara Anggota Kerja Sama Islam (OKI) hingga menetapkan tanggal 15 Maret 2022 sebagai Hari Internasional Untuk Memerangi Islamophobia.

Dokumen tersebut menekankan juga bahwa terorisme dan ekstremisme kekerasan tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, peradaban atau kelompok etnis apa pun. Kecuali itu, resolusi PBB ini juga menyerukan dialog global tentang promosi budaya toleransi dan perdamaian berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keberagaman agama yang ada di dunia.

Sebaliknya, upaya berbagai pihak yang terus menghembuskan Islamophobia, justru semakin memperluas simpati, dukungan, solidaritas dan rasa cinta dari warga masyarakat non Muslim, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang justru masuk Islam. Setelah mengucapjan sahadat, mereka sungguh terkesan lebih serius dan gigih melakukan pembelaan terhadap Islam yang masih terus ingin dilemahkan dan disebutkan.

Banten, 7 September 2024

Print Friendly, PDF & Email

Pos terkait