Menulis Sebagai Pertanda Kita Pun Pernah Melintas Pada Suatu Jaman

By : Jacob Ereste

Menulis itu, salah satu cara memberi kesaksian. Setidaknya kita pernah hidup untuk sekedar meninggalkan jejak, agar generasi berikut masih dapat melakukan bapak tilas. Bahwa pada suatu ketika di suatu tempat dalam moment tertentu — yang mungkin juga kelak mempunyai daya tarik bagi orang lain — dapat dikaji ulang sebagai bahan perenungan untuk melangkah lebih jauh dalam perjalanan hidup yang fana ini.

Memang tak semua orang mampu menulis dalam arti yang paling sederhana sekalipun. Tapi, toh tetap dapat dicoba dan dipelajari, meski hasilnya tidak sebaik standar minimal dari bentuk tulisan berjenis kelamin apapun. Seperti catatan harian pun, mungkin penulisnya sendiri yang dapat memahaminya secara keseluruhan. Tapi sebagai jejak — bahwa kita pernah hidup — dapat sedikit memberi petunjuk tentang suatu peristiwa atau sebuah masalah yang perlu diketahui oleh mereka yang masih menikmati kehidupan dan memerlukan gambaran seperti relief yang terpahat di gua-gua peninggalan masa silam yang masih bisa kita nikmati pada masa kini.

Penyair yang menyerahkan pencercapannya tentang hidup dan kehidupan — meski sangat pribadi sifatnya — toh, masih dominan dapat memberi inspirasi perenungan. Sangat mungkin juga dari sepenggal bait syair itu mampu membuka cakrawala pandangan yang baru tentang sesuatu hal yang tidak pernah kita duga sebelumnya, bisa memberi ide baru yang segar untuk menambah keindahan hidup bisa lebih riang gembira dan percaya menatap masa depan yang tidak lagi terlalu menakutkan.

Karena hidup ini terlalu singkat, seperti kesaksian banyak orang yang ingin hidup seribu tahun lagi. Lalu apa yang bisa kita tinggalkan — sebagai warisan bagi peradaban manusia — yang terus melaju ke depan, meski pada dasarnya acap terpiuh dan berbelok tanpa pernah disadari ke mana arah serta tujuannya. Tapi setidaknya — meski dalam bentuk satu titik kecil — kita toh sudah ada di dalam kehidupan yang hidup terus berganti dan bertumbuh entah sampai kapan.

Seperti tulisan ini pun, tidak terlalu penting akan disebut berjenis kelamin seperti apa. Termasuk mereka yang acap sibuk menyebutnya sebagai puisi esai, atau sekedar lelenguhan umum seperti yang banyak juga dilakukan orang yang selalu sibuk untuk menempelkan nama agar dapat lebih mudah melakukan diidentifikasi saat waktunya hendak diperlukan.

Padahal, tidak sedikit orang yang tidak terlalu perduli siapa nama dari sosoknya. Karena orang banyak memang lebih sibuk memposisikan diri sendiri, meski acap salah karena tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan

Agaknya, dalam kecenderungan yang dominan ini sungguh ramai orang ingin menempelkan gelar di depan maupun di belakang namanya. Karena namanya sendiri tidak cukup meyakinkan untuk menggambarkan dirinya yang sejati dan otentik, tak mungkin bisa sepenuhnya dimiliki oleh orang lain. Padahal, menulis itu — sebagai bagian dari kemampuan untuk menandai identitas diri — lebih dari cukup dan otentik sekaligus abadi.

Sebab watak dan perangai hingga tingkat kecerdasan intelektual maupun kecerdasan spiritual, akan terurai jelas dan rinci tanpa perlu dijabarkan secara khusus lewat karya tulis yang mampu ditampilkan itu. Karena semuanya akan tercermin atau tergurat dari selera dan pilihan bahasa sampai teknis cara menyusun narasi yang enak dicerna, seperti makan makanan yang paling kegemaran serta memenuhi selera, gizi dan nutrisi kebutuhan tubuh yang memerlukannya agar sehat, kuat dan tetap lincah dan gesit untuk melakukan aktivitas yang dikehendaki. Maka itu, segenap kenikmatan yang telah dapat dirasakan perlu disyukuri, sebab manusia sekedar bisa berusaha, ikhtiar sekuat mungkin, tapi ketentuan dan kepastian ada digenggaman Tuhan.

Dan menulis pun sesungguhnya bagian dari upaya menyemai kebaikan — cinta dan kasih — bahwa kita pernah hidup dan ingin meninggalkan sesuatu yang tidak untuk dikenang, tetapi juga bisa menambah dan memperkuat daya hidup untuk melihat semua keindahan selama di bumi. Dan itu semua, patut dibaca serta diketahui juga oleh orang lain. Setidaknya menulis itu menjadi pertanda bahwa kita pernah melintas pada suatu jaman.

Banten, 13 Oktober 2024

Print Friendly, PDF & Email

Pos terkait