By: Jacob Ereste
Gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual perlu dilakukan secara bersama seluruh warga bangsa Indonesi guna mengatasi merosotnya nilai etika, moral hingga akhlak manusia akibat tergerus oleh paham materialistik yang ditebarkan oleh paham kapitalisme yang kini telah mempercantik diri dengan tampilannya yang kini banyak dikenal orang dalam wujud neo-lib yang mengagungkan kebebasan serta persaingan dalam bentuk dan wujud apa saja yang dianggap penting dan perlu untuk diperebutkan.
Dalam persaingan, perlombaan serta dalam pertarungan bebas inilah, etika, moral dan akhlak mulia sebagai anugrah Tuhan jadi terabaikan. Karena yang penting dalam persaingan dan perlombaan maupun pertarungan yang terjadi adalah harus menjadi pemenang yang dilakukan dengan cara apapun. Terutama dalam wilayah politik di Indonesia yang telah menghalalkan segala cara, meski tidak terpuji dan sangat tercela karena melakukannya dengan cara yang curang.
Begitulah tatanan demokrasi telah rusak, lantaran tata aturan dan hukum serta perundang-undangan yang dianggap menjadi penghalang sekonyong-konyong diubah hanya untuk memuluskan jalan meraih kemenangan. Kondisi dan situasi seperti itulah yang telah membuat banyak warga masyarakat kecewa berat hingga sulit dirincikan sampai hari ini telah meninggalkan cacat dan cela yang sangat mengecewakan, hingga terkesan membuat hati rakyat terluka.
Artinya, proses untuk mendapatkan sesuatu yang diharap bisa menyenangkan hati, bisa dilakukan dengan tega menyakiti hati orang lain. Jadi bisa segera dibayangkan kegembiraan yang dinikmati diatas penderitaan atau kesedihan dari kekecewaan orang lain, dapat dinikmati tanpa pernah merasa adanya kesalahan yang seharusnya menimbulkan penyesalan atau rasa berdosa, karena telah mencederai kejujuran dan keikhlasan orang lain.
Akibatnya, tentu saja sangat mungkin perlakuan serupa akan menular menjadi penyakit yang juga dilakukan oleh orang lain dalam bentuk yang lebih kejam dan keji, hingga mau saja melakukan upaya pembunuhan secara terencana, sekedar untuk memuluskan perjalanan karier atau posisi politik. Warna kelam serupa inilah yang melintas dalam proses Pemilu di Indonesia pada tahun 2024 yang kelak akan menjadi pelajaran terburuk untuk dikaji sepanjang sejarah bangsa Indonesia yang ingin disebut sebagai negara penganut dan penegak demokrasi dalam kegelapan yang justru terlihat fulgar.
Lalu dimanakah hati nurani bersemayam, ketika semua kedegilan itu terjadi ?
Agaknya, semua orang harus bertanya dengan jujur dan terbuka, apakah etika dan moral hingga akhlak mulia manusia sebagai anugrah Tuhan yang sungguh agung itu telah hilang atau tergadaikan hingga predikat dan status Khalifah Allah jadi terabaikan ?
Sungguhkah ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kemuliaan diri sendiri yang agung sebagai fitrah dari Allah ?
Petojo, 30 September 2024