Peradaban Toraja di Tanah Bungku yang Dibumihanguskan DITII: Jejak Sejarah Bokko Pento dan Ekspedisi 200 Jiwa

Mentreng.com  |  Morowali – Di tengah rimba Sulawesi, tersembunyi kisah yang nyaris terhapus dari sejarah bangsa: kisah tentang peradaban Toraja yang berakar kuat di Tanah Bungku, Morowali, Sulawesi Tengah. Di bawah kepemimpinan karismatik Bokko Pento, lebih dari 200 jiwa melintasi alam liar demi menjemput harapan—sebelum semuanya dibumihanguskan oleh gelombang kekerasan gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DITII) pada tahun 1965.

Segalanya bermula pada tahun 1932. Dalam bayang-bayang represi kolonial Belanda, Bokko Pento, seorang pemuka adat Toraja, memimpin eksodus besar-besaran ke arah selatan-timur Sulawesi. Mereka bukan hanya pengungsi, tapi pembawa nilai, sistem pertanian, tradisi, dan kepercayaan. Jalur yang mereka pilih bukan jalur mudah—melintasi danau Towuti, hutan belantara, dan punggung pegunungan Matano—dalam pencarian ruang hidup yang baru.

Mereka akhirnya tiba di wilayah Kerajaan Bungku, dan Raja PEA PUA Abdul Razak menerima mereka sebagai bagian dari komunitas lokal, dengan syarat: patuh pada hukum adat Bungku, menjaga stabilitas wilayah, dan memeluk Islam. Syarat ini diterima dengan bijak. Seiring waktu, mereka membangun permukiman di Sampala, Tete Nona, Koroni, hingga Batu Pali. Di sana, mereka tidak sekadar hidup—mereka menumbuhkan peradaban.

Rombongan Bokko Pento hidup berdampingan dengan masyarakat Bungku, menjalin silaturahmi lintas budaya, menyemai sawah dan membangun masjid. Identitas Toraja mereka menyatu dalam bingkai Islam lokal yang kental dengan nilai-nilai musyawarah dan gotong royong. Hingga kini, sisa-sisa peradaban itu masih dapat dikenali: batu nisan tua, sisa ladang berundak, serta peninggalan dokumen kerajaan yang mengukuhkan hak pemukiman mereka.

Namun, harmoni itu hanya bertahan sejenak..”DITII Membakar Segalanya*

Tahun 1965 menjadi luka terbuka. Gerakan bersenjata DITII menyusup ke wilayah Morowali, memanfaatkan geografis pegunungan dan minimnya aparat negara. Dalam kekacauan itu, kampung-kampung warisan Bokko Pento menjadi sasaran. Rumah-rumah dibakar, masjid dihancurkan, ladang dirampas, dan ratusan keluarga tercerai-berai. Mereka yang selamat menyebar ke pesisir Bungku, Kolaka, hingga ke hulu Luwu dan Poso.

Dari puing-puing itulah muncul generasi baru diaspora Bokko Pento. Mereka tumbuh membawa luka sejarah sekaligus harapan untuk pulang ke tanah warisan leluhur.

Di antara para keturunan Bokko Pento, nama-nama seperti Saharu (dikenal sebagai Komang) dan Lappang (Indo Agu) menjadi pengingat hidup atas jejak sejarah tersebut. Mereka kini berada di garda depan memperjuangkan pengakuan atas tanah ulayat mereka yang terbukti melalui peta warisan, surat Raja Bungku, dan batas wilayah tiga provinsi: Sulawesi Tengah, Tenggara, dan Selatan.

“Kami tidak pernah menjual tanah ini. Ini warisan. Kami ingin membaginya secara adil untuk semua pihak, termasuk negara dan perusahaan, asal tetap menjaga adat dan musyawarah,” ujar salah satu pewaris Bokko Pento, pada Senin (26/5/2025).

Perjuangan mereka bukan sekadar mempertahankan tanah, melainkan menuntut pengakuan atas sejarah. Mereka bersandar pada Undang-Undang Pokok Agraria, perlindungan masyarakat adat dalam UU HAM, serta prinsip keadilan dalam pembangunan nasional.

Hari ini, para keturunan Bokko Pento menyerukan agar negara tidak melupakan sejarah peradaban yang pernah menjaga perbatasan negeri. Mereka tidak menuntut balas, hanya keadilan dan pengakuan. Bahwa di balik tanah yang kini jadi konsesi tambang, pernah berdiri sebuah peradaban yang dibangun dengan keringat, doa, dan darah para leluhur.

Morowali bukan hanya tanah tambang. Ia adalah museum hidup dari kisah-kisah besar yang belum ditulis dalam buku sejarah. Dan Bokko Pento adalah satu di antaranya—pemimpin yang membawa ratusan jiwa keluar dari cengkeraman kolonial, hanya untuk menyaksikan peradabannya dilalap api gerakan radikal. Kini, waktunya bangsa ini memberi tempat yang layak dalam ingatan sejarah.

Sejarah Nusantara tak hanya ditulis oleh raja dan perang, tetapi juga oleh langkah kaki para perantau yang membawa adat, iman, dan harapan melintasi gunung dan danau. Di antara mereka, terdapat kisah luar biasa tentang Bokko Pento—tokoh Toraja yang pada tahun 1932 memimpin lebih dari 200 jiwa meninggalkan tanah kelahiran mereka demi mencari kedamaian di timur Sulawesi.

Kala itu, Tanah Toraja tengah dilanda ketegangan. Penjajahan Belanda tak hanya memaksakan kekuasaan, tapi juga memengaruhi tatanan adat dan spiritual masyarakat dengan masuknya agama Kristen sebagai alat kolonisasi. Bokko Pento, seorang tokoh adat yang teguh menjaga warisan leluhur, memilih jalan lain: merantau. Bersama ratusan pengikut dan hanya berbekal perlengkapan seadanya serta beberapa ekor kerbau, ia menempuh perjalanan penuh risiko melintasi pegunungan, Danau Towuti, Matano, hingga Mahalona.

Perjalanan panjang itu akhirnya membawa mereka ke wilayah Kerajaan Bungku, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Raja PEA PUA Abdul Razak (1931–1937). Rombongan Bokko Pento menetap di sejumlah lokasi strategis yang kini dikenal sebagai Desa Bahodopi, Lele, dan Dampala—khususnya di kampung-kampung Sampala, Tete Nona, Koroni, Batu Pali, To Kamiri, dan To Kaluku.

Nama-nama kampung ini masih menyimpan jejak lidah Toraja yang kental, penanda bahwa walau tanah berganti, identitas tetap mereka genggam.

Raja Bungku menyambut rombongan Bokko Pento, namun memberikan tiga syarat yang harus dipenuhi bila mereka ingin bermukim:

1. Menghormati dan mengikuti adat istiadat Kerajaan Bungku,

2. Siap menjaga keamanan wilayah dari segala ancaman,

3. Bersedia berpindah agama ke Islam.

Tanpa pertumpahan darah, Bokko Pento dan rombongannya menerima seluruh syarat itu. Mereka memeluk Islam secara kolektif dan hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat Bungku. Jejak konversi itu hingga kini terlihat dari keberadaan masjid-masjid tua, makam Muslim kuno, serta kebiasaan berislam yang diwariskan lintas generasi.

Sebagai tanda penerimaan dan penghargaan, Raja Bungku menganugerahkan sebidang tanah luas dengan batas-batas alam:

–  Utara: Sungai Sampala
–  Timur: Sungai Lantula,
–  Selatan: Sungai Mapute,

Tanah ini berada di perbatasan tiga kerajaan besar: Bungku (Sulawesi Tengah), Tolaki (Sulawesi Tenggara), dan Luwu (Sulawesi Selatan). Keberadaan mereka menjadi garda terdepan penjaga perbatasan kerajaan.

Hingga hari ini, tanah ulayat Bokko Pento masih diakui secara adat dan administratif. Sejumlah dokumen membuktikan legitimasi itu, termasuk:

–  Surat dari Raja Bungku dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,

–  Dokumen sejarah kampung Sampala,

–  Surat pengakuan dari keturunan Raja Abdul Razak dan PEA PUA Abdul Rabbie,

–  Surat keterangan saksi dan kuasa ahli waris,

–  Peta batas wilayah antarprovinsi.

Namun sejarah kembali diuji ketika pada 1965, gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DITII) meletus di Sulawesi. Wilayah pedalaman Bungku tak luput dari ancaman, dan rombongan Toraja pun kembali terusir. Demi keselamatan, mereka turun ke pesisir atau menyebar ke Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Tengah.

Meski tercerai-berai, keturunan Bokko Pento tetap menjaga akar—baik sebagai Muslim maupun sebagai penjaga adat. Tokoh-tokoh seperti Saharu (Ambe’ Komang) dan Lappang (Indo Agu) masih menjadi saksi hidup atas kisah agung itu. Mereka menyimpan dokumen, cerita, dan semangat perlawanan dari satu generasi ke generasi lain.

Kini, keturunan Bokko Pento tak menuntut keistimewaan. Mereka hanya meminta keadilan: agar tanah ulayat mereka tak diusik dan tak dijual, melainkan dimanfaatkan bersama secara adil. Pemerintah, masyarakat adat, dan investor bisa berjalan beriringan—selama tetap menjunjung prinsip musyawarah dan menghormati adat setempat.

Landasan hukum yang mereka pegang pun jelas:

–  UUPA No. 5 Tahun 1960 Pasal 3: tentang pengakuan hak ulayat,

–  Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019: tentang penetapan tanah masyarakat hukum adat,

–  UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 6: tentang perlindungan hak masyarakat adat.

Bagi keturunan Bokko Pento, tanah bukan sekadar sumber daya, tapi tapak sejarah. Di sanalah darah leluhur ditanam, di sanalah identitas mereka dibangun. Mereka tak ingin sejarah ini terlupakan, apalagi digusur oleh keserakahan modernitas.

“Kami bukan pengklaim tanah. Kami hanya ingin menghormati leluhur dan membagi manfaatnya secara adil,” ujar salah satu pewaris Bokko Pento.

Dari rerimbunan pohon dan sungai yang mengalir, kisah Bokko Pento mengajarkan kita bahwa tanah adalah tempat berpijak, tapi juga tempat menjaga martabat. Sejarah itu kini menunggu untuk diakui, dipulihkan, dan diwariskan kembali—bukan hanya kepada keturunannya, tetapi juga kepada bangsa ini yang sedang mencari akar identitasnya sendiri. (Red)

Narasumber:
Muh. Ukub/Lappang (Indo Agu)

Pos terkait