Mentreng.com | Jakarta – Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mencopot Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, yang disinyalir kuat terlibat dalam skandal besar “Pertamina Oplosan” melalui jalur gelap mantan narapidana korupsi pengadaan Alquran, Fahd A Rafiq.
Dalam pernyataan tegasnya, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., sekaligus Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012, menyebut adanya indikasi kuat aliran dana haram sebesar Rp.25 miliar per bulan yang mengalir ke oknum perwira tinggi polisi, termasuk Irjen Karyoto, dari para mafia BBM ilegal di bawah bendera Patra Niaga, anak perusahaan Pertamina. Dana itu disebut-sebut disalurkan lewat tangan Fahd A Rafiq, tokoh muda Partai Golkar yang memiliki rekam jejak sebagai residivis dua kasus korupsi besar: pengadaan Alquran dan proyek infrastruktur di Aceh.
“Ini bukan sekadar tudingan. Ada fakta-fakta kuat yang menunjukkan keterlibatan Fahd dalam pengaturan hukum di Polda Metro Jaya, bahkan sampai memenjarakan sahabatnya sendiri demi mengamankan kepentingan,” ujar Wilson dalam konferensi pers, Sabtu (12/4).
Dugaan keterlibatan Fahd semakin menguat setelah pengakuan mengejutkan datang dari Irwansyah, S.H., pengacara Faisal—Direktur PT. Visitama, yang kini ditahan di Rutan Polda Metro Jaya karena laporan dari Fahd. Menurut Irwansyah, proses penetapan tersangka terhadap kliennya sangat janggal dan terkesan dipaksakan.
“Di depan kami, penyidik ditelepon Fahd dan disuruh langsung menetapkan Faisal sebagai tersangka. Telepon itu disetel loudspeaker agar kami mendengar sendiri. Fahd bilang, ‘apa kendalanya, tetapkan saja Faisal, tangkap dan tahan, gabungkan dengan pencuri ayam di sana’,” ungkap Irwansyah penuh geram.
Lebih mengejutkan, Irwansyah menyebut adanya intervensi langsung dari Sespri Kapolda yang terus menekan penyidik agar segera menahan Faisal. Padahal, kasus yang dituduhkan hanya pelanggaran Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun.
Kasus ini berakar dari hubungan bisnis antara PT. Visitama—yang dipimpin Faisal—dengan PT. Iluva, milik Irwan Samudra, yang menjalin kerja sama dalam bidang pertambangan di Kalimantan. Dalam perjalanan kerja sama, Irwan meminjam dana pribadi dari Faisal untuk menutup kewajiban utang PT. Iluva.
Faisal, karena rasa kemanusiaan dan solidaritas sesama pengusaha, mengabulkan permintaan itu. Bahkan, sejumlah pinjaman tunai diberikan tanpa jaminan. Belakangan, utang sebesar Rp1,7 miliar yang dijanjikan akan dibayar tidak juga dikembalikan. Ironisnya, bukan solusi yang didapat, melainkan pelaporan balik oleh Fahd A Rafiq yang mengklaim telah terjadi penipuan dan penggelapan.
“Faisal ini korban kriminalisasi oleh rekannya sendiri. Ada aroma busuk kekuasaan di balik proses hukumnya yang begitu kilat—dipanggil sebagai saksi, gelar perkara langsung, ditetapkan tersangka, dan ditahan hanya dalam hitungan jam,” kata Irwansyah.
Skandal hukum yang menjerat Direktur PT. Visitama, Faisal, semakin memunculkan kejanggalan. Dalam perkara ini, Faisal yang semestinya menjadi pihak korban, justru berakhir sebagai tersangka dan ditahan di Polda Metro Jaya, diduga kuat akibat rekayasa kasus yang melibatkan aktor lama di dunia korupsi, Fahd A Rafiq.
Singkat cerita, Irwan Samudra—rekan bisnis Faisal sekaligus pihak yang memiliki utang—sempat mencicil kewajibannya. Namun dari total utang, masih tersisa sekitar Rp1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah). Untuk melunasi sisa itu, Irwan menyerahkan dua lembar cek masing-masing senilai Rp600 juta kepada orang kepercayaan Faisal bernama Rahmadsyah Putra alias Carlos. Ia juga menjanjikan pelunasan tunai sebesar Rp.50 juta. Namun janji tinggal janji, uang tunai tak kunjung datang.
Lebih ironis lagi, saat cek dicairkan ke bank, keduanya ternyata kosong. Tidak ada dana yang tersedia. Irwan Samudra sempat beberapa kali menjanjikan akan mengisi saldo untuk mencairkan cek tersebut, namun tak pernah ditepati. Karena merasa dirugikan, Faisal akhirnya melaporkan Irwan ke Polsek Cilandak, Jakarta Selatan.
Setelah laporan itu, istri Irwan Samudra, Nova Herliana, datang membawa surat pernyataan tertanggal 15 Februari 2022, dan menawarkan perdamaian. Sebagai bagian dari itikad menyelesaikan utang, Irwan menyerahkan satu unit mobil Kijang Inova warna hitam dengan nomor polisi B-2982-SI, yang diterima langsung oleh Carlos di kediaman Faisal.
Namun pelunasan tak pernah tuntas. Irwan terus menghubungi Faisal melalui WhatsApp, meminta waktu dan bahkan menawarkan diri untuk bekerja apa saja demi melunasi utangnya. Dalam salah satu pesan bulan April 2024, Irwan menulis:
“Pak Faisal, ini Irwan… Saya belum dapat kerja, mohon diberi waktu lagi. Sekali lagi mohon maaf dan kebaikan dari bapak.”
Sebelumnya, pada Januari 2024, Irwan juga memohon pekerjaan:
“Saya belum bisa bayar, tapi saya siap disuruh apa saja sampai lunas. Mohon maaf bang.”
Ironisnya, pihak yang selama ini membantu dan memberikan pinjaman, malah berujung sebagai tersangka. Faisal dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh seseorang bernama Yosita Theresia Manangka—karyawan PT. Visitama—yang mengatasnamakan Irwan Samudra. Laporan itu teregister dengan nomor : LP/B/1638/III/2025/SPKT/Polda Metro Jaya, tertanggal 7 Maret 2025.
Yang membuat publik geleng kepala, proses hukum atas laporan tersebut berjalan luar biasa cepat. Dalam waktu beberapa hari saja, surat perintah penyidikan, penugasan, hingga penetapan tersangka terbit beruntun. Bahkan, Surat Penahanan diterbitkan hanya beberapa jam setelah Faisal ditetapkan sebagai tersangka pada 11 April 2025 tengah malam.
Faisal dikenai Pasal 368 dan/atau 378 dan/atau 372 KUHP terkait dugaan pemerasan dan penipuan. Dalam tuduhan itu, Faisal disebut meminta uang hasil produksi tambang batu bara sebesar Rp30.000 per ton dari total 60 ribu ton, senilai sekitar Rp1,8 miliar, atas nama Fahd A Rafiq.
“Itu fitnah. Saya tidak pernah melakukan pemerasan, apalagi membawa-bawa nama Fahd A Rafiq. Justru saya yang dirugikan secara finansial oleh Irwan Samudra,” tegas Faisal dari balik tahanan.
Wilson Lalengke selaku Ketua Umum PPWI, menyoroti tajam dugaan rekayasa hukum dan permainan kotor yang menjebak Faisal. Ia menyebutkan, ini adalah contoh nyata dari penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum yang dipengaruhi oleh mantan narapidana korupsi.
“Saya sangat prihatin. Ini bukan lagi penegakan hukum, tapi pelecehan terhadap hukum. Kapolda Metro Jaya harus segera diproses hukum karena membiarkan bahkan diduga menikmati hasil dari praktik kotor seperti ini,” ujar Wilson.
Ia juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan membenahi institusi Polri. “Jika negara terus membiarkan praktik seperti ini, maka kita sedang melegalkan hukum rimba,” pungkasnya. (TIM/Red)