By : Jacob Ereste
Saat akan menerima jabatan publik, kebiasaan dilakukan sumpah untuk melaksanakan janji sesuai dengan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh yang bersangkutan. Sumpah dan janji waktu hendak menerima jabatan tersebut saat pelantikan, dapat dipahami sebagai ketidakpercayaan yang perlu mendapat jaminan untuk ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Meski semua pejabat negara telah melakukan sumpah dan mengikrarkan janjinya untuk patuh dan taat menjalankan fungsi dan tugasnya serta tidak melakukan penyelewengan dalam bentuk apapun, toh perlakuan yang menyimpang atau bahkan khianat dengan apa yang terlilit dalam sumpah dan janjinya itu tetap banyak yang melanggar — atau bahkan khianat pada amanah yang harus dilakukan — sebagai abdi masyarakat.
Kebiasaan yang telah dianggap oleh orang banyak menjadi budaya bagi pejabat pemerintah di Indonesia sejak puluhan tahun silam hingga hari ini dengan tren yang semakin meningkat ugal-ugal jelas menunjukkan bahwa kepercayaan rakyat yang dititipkan kepada pejabat negara semakin rentan telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok atau gerombolan kolusi yang mereka bentuk hanya untuk melanggengkan kekuasaan agar dapat memiliki kesempatan yang lebih leluasa memperkaya diri dan gerombolannya.
Akibatnya pun, tindak penyelewengan dan sejenisnya semakin sulit diberantas, apalagi terus berlangsung dengan model ijon yang berujung pada untuk menyandera mereka yang dianggap pesaing atau musuh dalam merebut serta mempertahankan kekuasaan yang hendak diabadikan sepanjang usia. Hasrat untuk menjadi pejabat seumur hidup — meski banyak orang sudah tidak suka — adalah ekspresi dari bentuk keserakahan yang tidak tau untuk menakar diri. Sementara orang banyak sudah menghendaki dirinya segera meletakkan jabatan tersebut.
Dalam istilah populernya inilah yang dimaksud jenis manusia yang tidak tahu diri. Jadi esensi dari hakekat sumpah dan janji yang dinyatakan saat hendak menerima jabatan itu, jelas omong kosong, sekedar formalitas belaka sebagai kebiasaan yang pemantas upacara pelantikan semata. Padahal, sumpah dan janji yang dinyatakan saat menjelang pelantikan itu tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Allah SWT.
Artinya, sanksi dan ganjarannya tidak hanya dari manusia yang merasa telah dikhianati dan dikecewakan, tetapi juga akan mendapat azab pembalasan dari Tuhan.
Itulah sebabnya seorang kawan penyair mengatakan, bahwa sumpah dan janji itu menuju kemunafikan. Sebab satu diantara tugas dan fungsinya seseorang sebagai pejabat publik yang tidak dilaksanakan, akan menjadi malapetaka bagi dirinya. Karena sebagai pejabat publik yang ingkar pada satu janjinya saja, maka jumlah rakyat yang kecewa serta merasa berhak untuk mengutuk jumlahnya dapat terbilang ratusan ribu atau bahkan jutaan orang. Misalnya korupsi yang dilakukan dalam bentuk bantuan sembilan bahan pokok untuk rakyat. Atau semacam upaya merampas lahan rakyat yang tidak berdaya untuk bisa mempertahankan hak-haknya, karena petugas pelaksana menggunakan cara kekerasan yang pemaksaan.
Pada intinya, sumpah dan janji yang telah diucapkan pejabat publik, hakekatnya mempunyai konsekuensi dharma amal dan azab yang patut dipercaya agar jalan menuju para sikap kemunafikan dan pengkhianatan dapat dijadikan daya pengingat agar tidak sampai tergelincir pada perilaku yang tercela dan membuat kutukan banyak orang digumamkan. Karena langit dan dan bumi tetap akan selalu mendengar bisikan Tuhan selirih apapun, hingga terkesan tiada suara-Nya.
Begitulah spiritualitas menjaga hati dan selalu mendengar bisikan lirih dari langit.
Ujung Kulon, 8 Oktober 2024