Terkait Cangkul Padang Di Lut Tawar, Mawardi : Ketua DPRK Aceh Tengah Ragu-Ragu Mengambil Keputusan

Mentreng.com  |  Takengon – Gelombang penolakan penertiban cangkul padang dan cangkul dedem akhirnya tumpah ruah ke halaman gedung kehormatan.

Meski dianggap segelintir, suara penolakan itu ternyata datang dari orang-orang bermental baja. Meski minoritas, mereka lantang dan lugas, tegas menolak perintah Pemerintah yang berencana menggusur tempat mereka mengais rejeki.

Bukan tanpa alasan, para nelayan itu datang dengan argumentasi yang bisa didebat namun sulit untuk dibantah. Dalihnya sederhana, jika ditertibkan maka berikan ganti sepadan.

Semua pihak yang sedari kemarin sibuk memberikan dukungan tergagap saat masa tumpah ruah kejalan. Ruang-ruang media sepi kiriman rilis bahkan untuk sekedar mendebat aksi dan tuntutan.

Yang paling sedih justru Pj Sekda Aceh Tengah, Pak Mursyid. Ia berdiri kaku dibelakang dua srikandi parlemen saat menghadapi aksi.

Bibirnya bungkam, wajahnya tampak cemberut, entah apa yang ia pikirkan sehingga sepenggal kalimat “Pelestarian Ekosistem Danau Lut Tawar” bahkan tidak dapat keluar dari mulutnya.

Padahal, Pak Mursyid sedang bertindak sebagai garda terakhir Pemerintah Aceh Tengah sebab sementara ditinggal Bupati Haili ke Kota Banda dan Wabup Muchsin melawat ke Ibu Kota Jakarta.

Pak Mursyid justru tampak lesu, bisu, diam seribu bahasa. Apakah diam tersebut pertanda Pak Mursyid ikut menyetujui tuntutan penolakan para nelayan ?

Atau ia diam karena tidak paham ?

Atau malah Bang Mursyid takut salah kaprah ?

Atau Pak Mursyid lupa bahwa ia adalah sekda?

Atau.. Ah entahlah ..

Dilain sisi, duo srikandi dewan Kak Fitri dan Kak Susi tampak garang berdebat dengan para nelayan. Meski ditengah gejolak keragu-raguan, keduanya terjun ketengah-tengah masa mendengar tuntutan.

Kak Fitri gercep memfasilitasi suara-suara nyaring yang bergema. Tidak tanggung-tanggung, ia tegas mengambil keputusan “Tidak ada pembongkaran, sebelum diskusi dengan Bupati”.

Pahit memang menelan ludah sendiri. Belum kering bibir mengucap dukungan pembongkaran, harus kembali menghentikan karena tuntutan para nelayan harus didengarkan.

DPRK memang harus demikian, lembaga legislatif tentu bertugas mendengar semua pendapat rakyat. Toh, Aspirasi rakyat adalah suara wakil rakyat.

Mendengar memang, namun bukan juga harus mengakomodir semua hal terlebih yang melagagar Undang-undang.

Pun demikian, surat sudah ditanda-tangani, masa sudah ditenangkan. Dalam bahasa lain, Pemerintah Aceh Tengah menyerah dan akhirnya membuka ruang diskusi perihal pembongkaran cangkul padang di Danau Lut Tawar.

Pernyataan Wabup Muchsin soal “Tidak Ada Ruang Negosiasi” harus ditarik sebentar. Bupati Haili yang mengapresiasi pembongkaran mandiri harus agak sedikit bersabar.

Sebab setelah kembali, mereka harus bersiap diri menghadapi suara-suara penolakan dari para nelayan.

Akankah Bupati Haili dan Wabup Muchsin menyerah? atau tetap pada perintah ? Entahlah .. Bupati Haili, Wabup Muchsin, Kembalilah !

Pos terkait